Cat Merah
Mata pelajaran seni rupa tersisa tinggal sepuluh menit lagi, dahi
Dwina mengkerut, dan mulutnya berdesis meringis menahan perihnya perut yang
kosong. Satu jam tiga puluh menit terlewati sudah, pada sepuluh menit terakhir,
sang guru menuliskan beberapa kalimat di papan tulis. Tahu apa artinya, Dwina
segera menyobek selembar kertas dari bukunya dan mengambil sebuah pulpen, lalu
menyalin semua kata demi kata yang tertulis di papan.
Bel jam istirahat berlalu, tak seberapa jauh jarum jam berputar, kantin
pun diserbu oleh murid kelas dua IPS, yang kelasnya memang bersebelahan dengan
kantin itu. Dalam suasana yang bisa disebut kericuhan itu terdengar suara
seorang siswi berteriak.
“ Dwina !”.
Meski teriakan itu tak digubris oleh banyaknya orang yang semuanya
berseragam putih abu, meski keramaian tetaplah keramaian, tapi Dwina tetap bisa
mendengarnya.
“ Oh, Hai !”. Balas Dwina.
“ Mau kemana ?, ajakin aku dong !? “.
“ Mau ke kantin, Laper nih “.
“ Traktir aku yah !?”. Pintanya pada Dwina.
Belum permintaannya terjawab, seseorang yang lain memanggil kedua
gadis itu.
“ Reni !, Dwina !”. Panggilnya.
“ Eh, hai, Yosep !”. Sahut Dwina.
“ Kalian kemana ?”. tanya Yosep.
“ Kemana aja boleh !”. Jawab Reni disusul dengan tawa kedua gadis
itu.
Yang bertanya hanya ikut tertawa dan langsung mengikuti langkah
dua temannya. Sampai di tempat yang jadi tujuan, Dwina bergegas memesan satu
porsi mie bakso.
“ Kamu laper atau kesurupan Dwin !?”. tanya Yosep.
“ Terserah aku aja deh, gak pernah liat orang kelaperan ya !? “.
Balas Dwina.
“ Ih serem ya Ren , liat si Dwina kaya gitu !? “
“ Kamu kok gitu sih !”. Kata Reni.
Akhirnya pesanan yang dinanti – nanti Dwina datang juga, setelah
mie bakso itu diletakan di atas meja, kedua tangan Dwina langsung menyergap
sendok dan garpu. Tampak begitu sadis saat saus berwarna merah menyala
disiramkannya ke atas mie bakso. Reni dan Yosep hanya menelan ludah melihat
tingkah Dwina yang benar – benar kelaparan.
“ Gak usah liat si Dwina deh, ngeri “. Bisik Reni kepada Yosep.
Yosep mengangguk.
“ Oh ya, ngomong – ngomong kamu udah dikasih tugas sama guru seni
rupa belom sep ?”. Tanya Reni.
“ Udah, yang tugas ngelukis itu kan !? “.
“ Iya, tapi gimana ngerjainnya nih, aku kan paling gak bisa sama
yang namanya ngelukis”. Kata Reni.
“ Ya udah, nyuruh aja sama yang bisa, nanti bayar, gitu “.
“ Emang bisa ?, emang nanti gak dimarahin sama guru ?” Tanya Reni
lagi.
“ Ya enggak lah, asal gak ketahuan !”
Tiba – tiba Dwina memotong.
“ Jadi, kalian mau nyuruh orang lain buat ngerjain tugas seni rupa
?”. Tanya Dwina, Keringat bercucuran membasahi dahi dan dagunya, tak diragukan
karena saking pedasnya mie bakso yang sedang dimakannya.
Reni dan Yosep hanya saling pandang, kemudian mengangguk.
“ Aku ikutan juga dong !”. Dwina menyusul sambil mendesis
kepedasan.
“ Iya iya !”. Balas Reni.
“ Tapi, kita nyuruhnya sama siapa ?” Tanya Dwina lagi, kemudian
mengibas – ngibas tangan kanan dan kirinya ke arah wajahnya yang merah.
“ Ada deh, Aku baru kenal sama pelukis di tempat aku ngekost”.
Tambah Yosep memberi jalan keluar.
“ Sip !” Reni menyetujui.
Seluruh mata pelajaran telah habis untuk sehari, berduyun - duyun
murid sekolah menengah atas itu meninggalkan tempat mereka belajar. Jarum jam
yang paling pendek telah menunjuk ke arah angka dua, ketika Yosep melihat jam
tangan yang terikat di tangan kirinya. Lalu menengok ke kiri dan ke kanan,
hanya barisan motor dan mobil yang terlihat di area parkir sekolah itu.
“ Sep !”. Dari belakang Dwina memanggilnya.
“ Hai !, gimana ? jadi ? “. Tanya Yosep.
“ Jadi dong, kita langsung aja sekarang ke temen kamu yang bisa
ngelukis itu “. Kata Reni.
“ Yo’i, kebetulan orangnya lagi ada di kostan !”. Sahut Yosep.
“ Emangnya dia gak sekolah, atau kerja kali !?”. Dwina bertanya
penasaran.
“ Yee, emang dia kerjanya ngelukis, kamu nih gimana sih !”
“ Cewek atau cowok ?” Tambahnya.
“ Cewek, kira – kira umurnya udah tiga puluhan”.
“ Tapi, lantas, ngapain cewek udah umur tiga puluhan ngekost
segala, sekolah udah gak mungkin, kuliah juga enggak, kerja cuma ngelukis.
Menurut kamu dia ngapain Sep ?” Tanya Dwina masih penasaran.
“ Kamu tuh ngapain mikirin nasib orang, yang penting sekarang
temen aku bisa bantuin kita, supaya tugas ngelukis kita bisa beres”.
“ Ya deh, gak usah sewot kali”. Dwina membalas.
Akhirnya mereka bertiga sampai di tempat kost Yosep. Tidak seperti
biasanya ,Yosep tidak masuk ke kamarnya terlebih dahulu, tetapi dia langsung
menghampiri kamar sang pelukis yang dimaksud. Dwina dan Reni mengikuti dari
belakang. Pintu kamar pelukis itu diketuk oleh Yosep, dan tak lebih dari satu
menit, terdengar suara kunci pintu dibuka dari dalam. Pintu kamar itu terbuka,
dari belakang pintu tampak sebelah wajah seorang perempuan, sebelah wajahnya
yang lain tersembunyi dibalik pintu kamar yang tak terbuka sepenuhnya.
“ Sama siapa sep ?”. Tanya perempuan yang masih menyembunyikan
sebagian wajahnya di belakang pintu.
“ Temen sekolah, Kak !”. Jawab Yosep sambil tersenyum.
“ Oh, Mari masuk”. Tiba – tiba perempuan itu mempersilahkan mereka
masuk.
Tanpa perintah kedua, Reni dan Dwina mengikuti yosep masuk ke dalam
kamar.
Masuk ke ruangan seorang seniman, mereka bertiga di suguhkan oleh
berbagai pemandangan berupa lukisan. Dwina dan Reni tak henti – hentinya
mengelilingkan mata mereka memandangi semua lukisan yang terpajang di setiap
sudut dinding kamar. Hampir semua lukisan yang melekat di dinding bersifat
abstrak, namun hanya sebuah lukisan saja yang tidak bersifat abstrak, lukisan
seorang anak kecil yang tengah memegang kain merah.
“ Tumben, pulang sekolah langsung mampir ke kamar kakak ?”. Nada
ramah keluar dari bibir sang pemilik kamar.
“ Sebetulnya ada perlu sih kak, oh ya, sebelumnya aku kenalin dulu
temen – temen aku kak, nih yang mukanya kaya orang jepang namanya Dwina “. Ulas
Yosep memperkenalkan Dwina.
“ Oh ya, salam kenal ya Dwina, nama saya Kartini, panggil aja Kak
Tini “. Dengan seuntai senyum yang hangat.
“ Satu lagi, ini yang tinggi namanya Reni”. Sambung Yosep.
“ Iya, Salam kenal juga “. Kartini menjawab dengan sikap yang
sama.
“ Maaf di sini gak ada kursi, maklum kakak jarang ada tamu, kalo
bukan Yosep sama yang pesen lukisan”. Kartini meneruskan.
“ Gak apa – apa kok kak, kita cuma bentar kok”. Kata Dwina.
“ Oh ya kak, maksud kita ke sini, kita pengen minta tolong sama
kakak”. Yosep mulai mengutarakan maksud kedatangannya pada Kartini.
“ Iya, terus !?”.
“ Kita kan dikasih tugas sama guru di sekolah, nah, tugasnya itu
ngelukis kak”
“ Jadi, kakak disuruh ngebikinin tugas buat kalian ?”
“ Iya kak,bisa enggak kak?”
“ Ya deh, gak masalah”
Lukisan – lukisan yang terpampang di setiap sudut ruangan membuat
mata Dwina tak merasa puas untuk dipandang hanya sekali saja. Mata Dwina tak
berhenti menjelajahi setiap karya Kartini itu. Hingga tatapannya terhenti di
sebuah lukisan yang berbeda, yaitu lukisan seorang anak kecil dengan ekspresi
wajah yang datar, kedua tangan nya memegang kain merah yang terurai kebawah.
Mata anak dalam lukisan itu seperti menatap balik, membuat Dwina semakin
penasaran, dia menatap lebih teliti. Namun yang terjadi kemudian mata anak
kecil dalam lukisan itu melukiskan secercah cahaya merah.
Mata Dwina seperti semakin terhisap saat menatap kedua pasang mata
anak kecil dalam lukisan itu, mata anak kecil itu bagaikan hidup. Semakin lama,
semakin dalam, Dwina bagai sendirian dalam ruangan penuh lukisan itu, hanya ada
dia dan lukisan itu, hanya ada suara mendengung, tak ada lagi suara Yosep yang
berbincang dengan Kartini, suara keramaian dari luar kamar tak terdengar lagi.
Dwina seakan tak ada di tempat asalnya, dwina ada di sebuah tempat yang lain.
Setelah tenggelam dalam tatapan lukisan itu, suara lembut seorang perempuan
memecahkan keheningan dalam benaknya.
“ Dwina “ . Suaranya datar, tidak terdengar ramah, juga tidak
terdengar kasar.
Dwina ingin menoleh, tapi matanya seperti terpaku hanya menatap
lukisan anak kecil itu. Raut muka Dwina berubah, yang sebelumnya kebingungan
kini menjadi ketakutan.
“ Kenapa aku ?”.Hati Dwina bertanya – tanya.
“ Dwina “. Suara itu memanggilnya lagi, tapi tak selembut
sebelumnya.
“ Dwina “. Suara itu terulang, dan bertambah berat.
“ Dwina “. Suara berikutnya berubah menjadi suara yang mengerikan.
Sebuah jeritan ingin di keluarkan dari mulutnya yang terkunci,
Namun kini mulut Dwina semakin rapat tak bisa terbuka, tatapan matanya semakin
dekat dengan lukisan itu, hanya tersisa beberapa jaraknya.
Dwina tak menyerah, raga tak bisa digerakan, dia mencoba menutup
matanya. Hanya kegelapan yang dia lihat saat menutup matanya. Kemudian Dwina
membuka kembali matanya, hingga Dwina mampu menggerakan tubuhnya lagi. Dwina
segera bangkit, dia berpaling ke kanan dan ke kiri. Dalam tatapan matanya,
suasana ruang kamar telah berubah, lukisan yang begitu banyak sesaat yang lalu,
kini lenyap entah kemana, hanya tersisa lukisan anak kecil yang sedang
menggenggam kain merah itu. Namun Dwina enggan menatap lukisan itu lagi. Dia
bergegas ke arah pintu, gadis itu melompat ke arah pintu, langsung mencengkram
handle pintu, memutarnya, dan berhasil membukanya. Dwina berhasil keluar, matanya
terpejam menahan kegugupan dan ketakutan. Namun belum habis rasa herannya,
Dwina hanya bisa terkejut, tercengang, tak dapat menerima kenyataan, takut.
Keluar dari ruang kamar, di tempat dia berdiri sekarang, dia melihat dirinya
tengah berada di ruangan yang sama persis, sangat sama seperti sebelumnya.
Dwina melihat benda – benda yang sama seperti di ruangan sebelumnya, lukisan
anak kecil itu masih tetap di tempatnya. Ketakutan yang bertambah, menguras
akal sehatnya. Dwina berlari ke arah pintu lagi, membukanya dan keluar. Tapi
kembali masuk ke ruangan yang sama. Kakinya melemas, seluruh badannya tak
bertenaga, dwina terjatuh berlutut, duduk terkulai di atas lantai yang masih
sama seperti sebelumnya, air matanya mengalir, rasa putus asa mulai
menyelimuti.
Gadis itu terduduk lemah, air matanya semakin deras. Tiba – tiba
suara pintu terbuka, namun kini bukan Dwina yang membuka pintu, melainkan
seorang gadis yang tampak lebih muda dari Dwina.
“ Tolong aku, tolong !”. Dwina berteriak pada gadis yang
dilihatnya.
Namun seolah tak mendengar teriakan itu, gadis yang sesaat lalu
masuk hanya duduk diam di atas sebuah karpet, lalu duduk terdiam mengkaku
seperti patung. Dwina sadar, itu bukanlah kejadian yang wajar, dia kembali
berlari menghampiri pintu, membukanya, lalu keluar. Tetapi masih seperti
kejadian yang sama persis, Dwina tiba di ruangan yang sama. Belum sampai satu
menit, tiba – tiba dua orang anak masuk ke ruangan itu. Seorang adalah gadis
yang berada di ruangan sebelumnya, seorang lagi adalah anak laki – laki. Dwina
terkejut, ketika melihat anak laki – laki itu, anak laki – laki itu adalah anak
yang berada dalam lukisan. Beberapa saat kemudian, kedua anak itu kembali kaku
tak bergerak lagi.
Dwina masuk ke ruangan selanjutnya, masih sama. Namun pasti ada
peristiwa yang berbeda. Di ruangan selanjutnya kedua anak itu tengah tertidur
dalam satu kasur yang dihampar di atas lantai tanpa ranjang. Tampaknya kedua
anak itu sedang mengobrol, Dwina dengan seksama mendengarkan pembicaraan kedua
anak itu.
“ Kakak”. Anak laki – laki itu memanggil gadis yang tidur bersamanya.
“ Iya, apa ?,kok kamu belum tidur,kan udah malem”. Sang gadis
menjawab.
“ Ayah kapan pulangnya?”. Tanya anak laki – laki itu.
“ Kakak gak tahu, kamu tidur aja, besok bantu kakak bawa kanvas
sama cat ke kota, kita cari pelanggan di kota”.
“ Iya kak”.
Percakapan itu tak berlanjut, seperti yang terjadi sebelumnya,
Setiap peristiwa pasti berakhir mematung. Ruangan itu seperti sedang bercerita
tentang peristiwa yang pernah terjadi di dalamnya kepada Dwina. Dwina segera
menghampiri pintu, masuk ke ruangan selanjutnya, dan masih sama. Kali ini dwina
melihat kakak beradik penghuni kamar itu tengah tertawa bersama, tampaknya
mereka sedang bahagia. Ternyata sang Gadis tengah menghitung uang dalam jumlah
yang banyak, dan sang adik tengah bernyanyi riang gembira. Kemudian kakaknya
mengucapkan sesuatu.
“ Kayanya kita bisa pulang ke kampung !“. Seru sang gadis.
“ Iya kak, aku pengen ketemu nenek !”.
Tetapi selanjutnya, kedua anak itu menjadi terdiam dan kaku.
Dwina tahu kejadian itu harus di teruskan di ruangan selanjutnya,
maka dia segera membuka ruangan yang selanjutnya.
Masuk di ruangan selanjutnya, ruangan itu kembali bercerita.
Seorang laki – laki masuk mendobrak pintu, kakak beradik yang berada dalam
ruangan itu terkejut melihat seseorang masuk dengan paksa.
“ Ayah!”. Si adik berteriak kepada laki – laki tua yang berdiri
tegak di depan pintu.
“ Kalian punya uang tidak !”. Bentak laki – laki itu.
“ Punya Ayah!”. Kata si adik.
“ Tidak ayah, kami sudah mengirimnya untuk nenek!”. Susul Gadis
muda, si kakak.
“ Kurang ajar!”. Tiba – tiba laki - laki yang dipanggil kedua
bersaudara itu malah menampar si kakak.
“ Ayah!”. Sang adik berteriak.
Namun peristiwanya kembali terhenti.
Dwina telah faham apa yang harus dia lakukan setiap peristiwa
terhenti, di ruangan selanjutnya, Gadis muda dan adiknya sedang sangat
bersedih.
“ Maafin Alif ya kak ?”.
Sang Gadis hanya menangis tersedu – sedu.
Beberapa saat kemudian pintu kamar diketuk dengan keras dari luar,
di susul sebuah teriakan.
“ Kartini !, buka pintu!, mana uang untuk membayar sewa kamar!,
kamu kan udah janji !”.
Dwina akhirnya tahu siapa gadis muda itu sebenarnya, dia adalah
kartini, sang pelukis yang teman Yosep, yang dimintai bantuan untuk
menyelesaikan tugas sekolahnya.
Selanjutnya Kartini membuka pintu kamarnya. Seorang perempuan yang
jauh lebih tua dari Kartini masuj ke kamar itu.
“ Mana uang sewa !?” bentak perempuan tua itu pada Kartini.
“ Gak ada Bu, maaf, kemarin ayah kemari ngambil uangnya”. Kartini
menjelaskan dengan gemetar.
Tiba – tiba, perempuan tua itu mengangkat tangannya. Tahu apa yang
akan terjadi Alif, adik Kartini berlari ke ke hadapan kartini. Tangan perempuan
tua yang hendak memukul Kartini malah menyambar kepala Alif.
“ Alif !”. Teriak Kartini.
Pukulan itu membuat Alif
jatuh tersungkur, kepalanya terbentur sudut lemari yang lancip, seketika itu
Alif tak terbangun lagi, dari bawah kepala Alif yang tergeletak di atas lantai,
mengucurlah cairan berwarna merah tua. Tapi peristiwa itu tiba – tiba terhenti
.
Wajah Dwina masih tampak tegang, matanya terbelalak, jantungnya
berdegup kencang, dan dari seluruh permukaan kulit wajahnya mengeluarkan
keringat dingin yang sangat deras. Sadar peristiwa itu telah terhenti, maka
untuk mengetahui apa yang terjadi selanjjutnya, dia harus membuka ruangan
selanjutnya.
Seragam sekolah yang dipakainya telah basah oleh keringat, namun
ketegangan itu tak lagi dia rasakan. Rasa penasaran lebih menguasai fikirannya.
Dwina membuka ruangan selanjutnya. Tapi di ruangan yang kini di masukinya
berbeda dari sebelumnya, Sebuah cahaya merah berpijar dari jendela dan dari
sebuah lilin, hingga semua sudut ruangan berwarna merah. Lalu Dwina melihat
Kartini tengah duduk bersimpuh menghadap sebuah kanvas, di samping kanvas itu
terduduklah tubuh kaku seorang anak kecil yang tak lain adalah adiknya sendiri.
Dari keheningan terdengarlah isak tangis Kartini yang ternyata tengah melukis
tubuh kaku adiknya. Pada Kanvas itu telah terlukis utuh tubuh Alif, namun ada
bagian kanvas yang masih belum dilapisi warna, Dwina terus memperhatikan apa
yang dilakukan Kartini.
Sebuah mangkuk kaca berisi cairan berwarna merah di raih tangan
Kartini. Saat memegang mangkuk itu, tangis kartini semakin menjadi, rintihannya
semakin memilukan hati Dwina, hingga Dwina pun ikut berurai air mata. Dwina
kemudian mendekati sosok Kartini yang tengah menangis.
“ Kak!, Kak Tini!”. Serunya pelan.
Tapi Kartini tak menjawab, dia terus melakukan niatnya,
menyelesaikan karyanya.
Saat mata Dwina tertuju pada mangkuk itu, warna cairan merah dalam
mangkuk yang di pegang oleh Kartini mengingatkan Dwina akan warna darah yang
keluar saat Alif mengalami kecelakaan. Saat itu juga dia sadar bahwa yang
berisi dalam mangkuk itu adalah darah dari adik kartika sendiri. Dwina pun
bertanya – tanya apa yang akan di lakukan Kartini.
“ Kak !, apa yang akan kamu lakukan !?”. Seruan sia – sia itu di
lontarkan.
Kartini mengmbil sebuah kuas, dengan tangan yang gemetar, Kartini
mencelupkan kuas itu ke dalam mangkuk yang berisi darah. Dwina tahu, Kartini
hendak melapisi bagian kanvas yang belum di cat dengan darah Alif. Kartini pun
meneruskan niatnya, bagian kanvas yang belum terlapisi cat itu benar – benar di
beri pewarna oleh warna merah darah. Ulasan demi ulasan terus di lekatkan pada
lukisan Adiknya, hingga akhirnya selesai.
Waktu telah berlalu beberapa jam, jendela kamar Kartini telah
tertutup gorden, rupanya langit diluar sana telah gelap gulita dihiasi untaian
bintang. Mata Dwina terbuka perlahan, yang pertama dia lihat adalah sebuah
langit- langit ruangan, kemudian cahaya lampu yang temaram, di luar sana
terdengar suara keramaian kendaraan bermotor yang saling berseliweran.
Terdengar suara lembut mengalun samar – samar di telinga Dwina.
“ Dwina, kamu udah bangun ?”
Dengan cepat, Dwina mengangkat tubuhnya, dalam keremangan dia
melihat wajah Kartini dengan senyuman yang hangat. Logika Dwina bereaksi cepat,
bagi Dwina senyuman Kartini itu sangat mengerikan. Dwina segera bangkit, lalu
meraih pintu dan bergegas keluar. Ternyata ada Yosep dan Reni menunggu di
belakang pintu kamar Kartini.
“ Dwin !?”. Sapa Reni.
Namun tanpa mengindahkan, Dwina hanya berjalan dengan terburu –
buru, tanpa pamit meninggalkan Reni dan Yosep.